Upaya Pengurangan Emisi Karbon Harus Terintegrasi
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro tak ragu menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki komitmen kuat dalam pengurangan emisi karbon. Menurut Bambang, target pengurangan emisi karbon sudah masuk dalam target jangka pendek yang tertuang dalam RPJM 2015-2019.
Namun menurutnya upaya pengurangan emisi karbon tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Program itu harus terintegrasi dengan aspek lain yang memengaruhinya seperti tingkat kesejahteraan masyarakat dan juga infrastruktur. Bambang menjelaskan selama ini banyak masyarakat Indonesia yang masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam dan hasil hutan.
Kebanyakan dari mereka masih hidup dalam kemiskinan. Selain itu masalah infrastruktur energi terbarukan yang belum memadai juga jadi kendala. Untuk memenuhi kebutuhan energi, baik untuk listrik maupun transportasi, masyarakat Indonesia masih tergantung pada sumber energi fosil.
Jika hanya memikirkan target pengurangan emisi, tentu akan memberikan ketimpangan pada sisi infrastruktur dan kesejahteraan. Oleh karena itu Bambang menegaskan, dalam perspektif Bappenas, hal yang menjadi kunci keberhasilan adalah tetap menjaga keseimbangan antara tiga hal tersebut.
“Kami tidak akan mempriotitaskan salah satunya. Semua harus berjalan beriringan,” kata Bambang saat berbicara dalam Global Landscapes Forum dengan tema Landscapes for a New Climate and Development Agenda di Kenzi Club Agdal Medina, Marrakesh, Rabu (16/11) waktu setempat.
Dalam mencapai tujuan itu Bambang mendorong pelibatan sektor swasta, baik nasional maupun asing, pelibatan Pemda dan perangkat di daerah, serta pelibatan komunitas masyarakat lokal. Langkah ini penting agar seluruh program yang berkaitan dengan pengurangan emisi karbon dapat terintegrasi antara satu sektor dengan sektor lainnya.
Misalnya dalam program pengembangan biomassa. Saat ini biomassa yang paling tinggi kemajuannya berasal dari sawit (CPO). Pemerintah berencana membangun proyek pengolahan minyak sawit yang berkelanjutan. Namun program ini membutuhkan persiapan matang agar tidak menjadi bumerang dalam upaya pengurangan emisi karbon.
Seperti diketahui, pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit selama ini kerap kali dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan dan tingginya produksi emisi karbon nasional. “Pemerintah ingin membuat program biomassa dari sawit yang tidak mengurangi degradasi tanah. Intinya, model ini harus berkelanjutan,” ungkap Bambang.
Penyediaan lahan bukan hanya ditujukan untuk pengembangan biomassa sawit namun juga pengembangan energi listrik geothermal. Sebagai informasi, potensi geothermal di Indonesia kebanyakan berada di kawasan hutan lindung. Itu berarti harus ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengeluarkan izin penggunaan kawasan hutan.
Untuk mempercepat target pemerintah, selain berupaya secara mandiri, Indonesia juga masih menunggu komitmen dan dukungan internasional dalam penyediaan dana sesuai dengan perjanjian Paris pada COP21 tahun lalu. Dukungan itu bisa diberikan melalui sektor swasta ataupun Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), sebuah badan nirlaba yang berada di bawah koordinasi Kementerian PPN/Bappenas.
Sejak 2009, ICCTF sudah mengelola dana sebesar U$24 juta untuk membiayai 61 proyek yang berkaitan dengan aktivitas mitigasi, adaptasi, dan energi di 17 provinsi di Indonesia. Ke depan, aktivitas seperti ini diharapkan terus meningkat untuk mempercepat target pengurangan emisi karbon di Indonesia. (dj)
Untuk artikel lengkap silahkan mengunjungi laman berikut ini: http://update.ahloo.com/2016/11/17/pengurangan-emisi-karbon-terintegrasi/