Perempuan Pelestari Pesisir
Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional, perayaan ini didedikasikan secara global untuk merayakan pencapaian sosial, ekonomi, budaya, dan politik perempuan. Hari Perempuan Internasional adalah salah satu hari terpenting sepanjang tahun karena tentunya juga merupakan momen untuk mendorong kembali kesetaraan gender. Peran merawat sangat lekat dengan perempuan, tak jarang kita mendengar kata ‘Ibu Bumi’ yang mencerminkan bahwa peran perempuan dalam pelestarian alam amat dekat.
Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional berikut Cerita dari Laut mengenai partisipasi perempuan dalam melestarikan pesisir sekaligus ekonomi keluarga. Cerita dari Laut merupakan ruang berbagi informasi dan pengalaman mengenai program pelestarian ekosistem laut dan pesisir dalam program Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).
Perempuan Tangguh, Petani Rumput Laut Sotimori
Mitra Indonesia Climate Change Trust Fund, Yapeka melalui Proyek COREMAP – CTI dengan dana hibah Bank Dunia melakukan kunjungan ke Sotimori, sebuah dusun kecil dengan 22 Kepala Keluarga yang terletak di Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mendekati Desa Sotimori, kita akan disambut dengan perairan jernih dan pasir putih yang membentang sepanjang pantai. Bentangan tali-tali rumput laut juga berjajar panjang di sebagian besar pesisir, tidak mengherankan karena Sotimori adalah salah satu daerah penghasil rumput laut di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Provinsi NTT sendiri merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Data dari DKP Provinsi NTT tahun 2019 menyebutkan produksi rumput laut basah mencapai 2,4 juta ton dan produksi kering mencapai 240 ribu ton per tahun.
Memasuki wilayah pemukiman, kesan panas dan gersang sangat dominan. Namun panasnya udara tidak menghalangi aktivitas para perempuan Sotimori yang sibuk memilah bibit rumput laut untuk ditaman kembali. Dengan cekatan mereka juga mengikat bibit-bibit baru ke tali pancang yang nantinya akan dibawa ke laut oleh para suami. Di Sotimori peran perempuan dalam budidaya rumput laut memang dominan. Mulai dari memilih bibit rumput laut, mengikatnya pada tali pancang, mengangkat bibit ke sampan menjadi tanggungjawab perempuan. Bukanlah pekerjaan yang ringan tentunya. Sekali angkut, Perempuan Sotimori harus mengangkat dua keranjang penuh bibit rumput laut yang beratnya kurang lebih 50 kilogram, dan pekerjaan ini harus dilakukan sampai semua bibit masuk ke sampan.
Jumlah yang lebih banyak tentu harus diangkut oleh para Perempuan Sotimori ketika waktu panen tiba. Para suami yang telah mengambil hasil panen dari laut akan menambatkan sampannya di pantai lalu beristirahat. Para istri akan kembali bekerja mengangkut keranjang-keranjang hasil panen untuk dikeringkan. Selama 2 – 3 hari mereka akan bekerja untuk mengeringkan rumput laut. Ketika tiba waktunya menjual rumput laut, para lelaki mengambil alih.
Kondisi ini tentu tidak hanya terjadi di Sotimori, tetapi hampir di seluruh pertanian rumput laut di NTT. Ternyata dibalik predikat penghasil rumput laut terbesar di Indonesia ada perempuan-perempuan tangguh dari Nusa Tenggara Timur yang bekerja keras menghasilkan rumput laut terbaik. Para perempuan ini berharap melalui Proyek COREMAP – CTI, mereka akan dibantu dengan teknologi yang bisa meringankan pekerjaan perempuan petani rumput laut.
Perempuan Raja Ampat
Berikut laporan dari mitra Indonesia Climate Change Trust Fund, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institute Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) saat berkunjung ke Raja Ampat.
Laut yang luas itu menyimpan seribu harta karun. Pelaut adalah penutur yang bercerita. Laut tak akan pernah membuka rahasianya. Angin sebagai selimut, kapal sebagai rumah dan lautan sebagai taman bermain. Pelaut akan selalu menyimpan rahasianya sebagai cerita dari laut.
Masih teringat jelas oleh penulis, pekan itu adalah kali pertama kami bertemu Nurdana Rizki Pratiwi, perempuan berhijab dengan senyum semangat terpasang di wajahnya, kali itu merupakan kunjungan pertama kami PKSPL-IPB ke Raja Ampat, Papua Barat.
Kami memanggilnya Mbak Tiwi sebagai fasilitator kami di Raja Ampat. Warga lokal yang menjembatani kami dengan masyarakat di Raja Ampat dalam menjalankan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang – Prakarsa Segitiga Karang. Perempuan itu antusias mendengar program pelestarian terumbu karang ini, ia sangat menyayangi tanah kampungnya, terlihat dari matanya yang berbinar saat menceritakan dan memandu kami ke tempat-tempat yang dikenal sebagai surga bagi kami, manusia ibukota.
Tiga bulan kebelakang, mitra kami PKSPL-IPB telah menyusun pondasi-pondasi program supaya tersusunnya program yang matang, memberi manfaat bagi masyarakat dan sumberdaya laut di Raja Ampat, Papua Barat. Salah satunya mengambil data mentah foto dan video di berbagai lokasi yang sudah ditetapkan bertujuan untuk mendukung informasi sehingga tersampaikan dengan baik kepada masyarakat dalam ranah media dan komunikasi. Hal ini menjadi perlu untuk mengumpulkan informasi grafis dalam bentuk foto dan video yang menggambarkan keberlangsungan kegiatan ini dan lokasi Papua Barat sendiri, sehingga nilai proyek ini terinformasi dengan baik kepada masyarakat dan dikemas dalam bentuk yang menarik, informatif, dan mudah dipahami. Kami berdiskusi dan bertukar ilmu sepanjang perjalanan di perahu cepat.
Nurdana Rizki Pratiwi memiliki latar belakang sebagai sarjana hukum di Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, banyak pengalaman menjadi aktivis lingkungan di berbagai mitra, dan juga mendirikan serta mengembangkan komunitas LNB (Lentera Negeri Bahari) bersama teman-teman Raja Ampat. Dengan program Literasi Lingkungan berbasis kontekstual, yang sekarang masih tahap penilaian awal untuk menerapkan program yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak di daerah pesisir Lopintol, Raja Ampat. Serta aktif sebagai pengelola produk lokal di Yayasan Maniambayan Raja Ampat. Salah satu yayasan lokal yang fokus pada pengembangan produk lokal sekaligus melakukan pemberdayaan mama-mama di kampung dengan melihat potensi yang dimiliki, terutama anyaman yang dikenal sebagai sarana untuk menyampaikan tradisi serta budaya yang melekat dengan masyarakat setempat. Mbak Tiwi bercerita dia menjadi lebih sadar betapa kaya dan pentingnya menjaga laut serta sumberdaya tanah kampungnya yang harus dijaganya.
Malam tiba, setelah penat menghabiskan agenda di hari itu, kami beristirahat sembari bercengkerama bersama dengan masyarakat Desa Yensawai, distrik Batanta, Raja Ampat ditemani dengan api unggun dan jagung bakar. Sesekali kami melihat ikan berenang di pesisir pantai, dipeluk oleh sepoi angin laut dan diselimuti bintang malam. Desa Yensawai Barat, Distrik Batanta Utara, tepatnya di Pulau Batanta. Morfogenesa Pulau Batanta adalah pulau berbukit sehingga melengkapi keindahan alam di kampung ini. Keindahan alam luar biasa yang lain juga dimiliki kampung ini, yaitu pesona bawah lautnya, yang mana tidak kalah dengan wilayah lain di Kabupaten Raja Ampat.
Komposisi ekosistem pesisirnya lengkap yaitu, terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Biota di kampung ini juga beragam, terlebih ada hiu berjalan (Hemiscyllium freycineti). Hiu eksotis ini memiliki status terancam punah berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dia itu bercerita dan bersyukur mendapat kesempatan untuk lebih mengenal dan menyatu tanah kampungnya sendiri tepatnya di Desa Yensawai Barat yang menjadi salah satu lokasi proyek PKSPL-IPB.
Kami semua bersyukur, dalam hati. ‘Semoga tujuan baik kami, terlaksana dengan baik juga’.
Beberapa hari bersama kami, beberapa tempat telah kami kunjungi dan disambut hangat oleh setiap masyarakat lokal desa setempat. Merupakan hal yang baru baginya untuk membangun komunikasi dengan baik kepada pemerintah daerah dan masyarakat lokal di beberapa desa di Raja Ampat sehingga dapat di sambut hangat. Serta tak lupa mengenalkan dan merekomendasikan tempat-tempat penting dan kepada kami untuk mengambil data lapangan.
Melestarikan alam membuatnya belajar dengan cepat dan mendapati perubahan-perubahan terhadap dirinya. Menjadi semakin kuat, semakin percaya diri, dan semakin menyatu dengan alam dan masyarakat sekitar.
Ketika berada di ujung pertemuan, kami harus berpisah dengannya dan keindahan alam Desa Yansawai. Pancaran kilau matahari pada air laut yang indah menemani kami sembari di perjalanan menuju pelabuhan di perahu cepat, perempuan itu bercerita ingin belajar banyak tentang pemetaan masyarakat pesisir di Raja Ampat, baik tradisi, budaya serta adat yang mereka punya terutama terkait pemeliharaan sumberdaya laut di dalamnya. Ia ingin berjuang untuk menempatkan posisi sebagai penggerak masyarakat dan berani tampil di tengah dominasi laki-laki. Langit cerah pagi itu seakan mendukung keinginannya.
Akhirnya kami harus berpisah sembari melambaikan tangan, “jumpa lagi dengan tim kami yang lain ya” teriak kami padanya, perempuan Raja Ampat.
Itulah dua Cerita dari Laut yang berhasil dirangkum oleh mitra Indonesia Climate Change Trust Fund, Yapeka dan PKSPL-IPB dari lapangan, peran perempuan dalam pelestarian pesisir tentunya berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Terima kasih perempuan-perempuan hebat!