Dampak Sosial dari Degradasi Ekosistem Gambut
Sekilas Gambut
Gambut adalah materi organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan berkayu yang tidak terurai secara alami dari sisa-sisa tumbuhan berkayu yang tidak terurai secara sempurna dan menumpuk di satu tempat selama ribuan tahun dengan ketebalan tertentu hingga mencapai puluhan meter, biasanya terdapat pada area genangan air, seperti rawa di antara dua sungai atau antara sungai dn laut. Luas area gambut di Indonesia lebih dari 20 juta Ha yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, atau setara dengan1,6 kali luas pulau Jawa. Dengan luasan ini, Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas terbesar di dunia. Gambut memiliki sifat seperti spons yang dapat menyimpan air, mencegah terjadinya banjir, melepaskan air perlahan-lahan dan menjamin pasokan air bersih sepanjang tahun, kubah gambut (peat dome) yang ada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua dapat diibaratkan waduk yang dapat menyimpan jutaan kubik air hujan. Gambut merupakan ruang hidup bagi berbagai unsur biotik dan abiotik, ekosistem di lahan gambut merupakan rumah bagi beranekaragam spesies flora dan fauna, termasuk beragam spesies langka seperti orangutan dan harimau. Tak hanya itu, gambut bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat diberbagai bidang mulai dari pertanian, perikanan, dan peternakan yang ramah lingkungan
Gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari hutan yang ada di seluruh dunia, jika terganggu atau dikeringkan, gambut menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Gambut menyimpan sepertiga cadangan karbon dunia, gambut Indonesia mengandung 22,5-43,5 gigaton karbon atau setara dengan emisi karbon yang dikeluarkan oleh 17-33 milyar mobil dalam setahun. Kata ‘gambut’ diyakini berasal dari Bahasa Melayu Banjar, Kalimantan Selatan. ‘Gambut’ juga merupakan nama sebuah wilayah di Kalimantan Selatan yang pertama kali dibuka dan diahlifungsikan pada tahun 1920. Transmigrasi secara masif mulai dilakukan sejak tahun 1980-an, transmigran dari Jawa memulai pertanian di lahan gambut. Pada tahun 1996 mega rice project dimulai, menyasar 1 juta Ha lahan gambut dan membangun 5.000 km kanal raksasa untuk mengeringkan gambut.
Dari sekitar 200.000 Ha kebun sawit pada tahun 1980 menjadi 7,2 juta Ha pada tahun 2010. Puncaknya hingga akhir 2014. Pada bulan Juni-September 2014 saja 4.000 Ha gambut hilang akibat banyaknya perizinan yang dikeluarkan untuk perkebunan kelapa sawit. Kesalahan tata kelola gambut yang telah berlangsung berpuluh tahun mengakibatkan degradasi ekosistem gambut. Anggapan bahwa lahan gambut tidak berguna. Paradigma bahwa lahan yang dapat diolah dan memiliki manfaat hanyalah lahan yang kering, membuat teknologi digunakan untuk mengeringkan gambut agar dapat “dimanfaatkan” dan melupakan tata kelola berkelanjutan.
Pengeringan lahan gambut yang terjadi akibat fenomena alam dan perilaku manusia selain kebiasaan membakar untuk membersihkan lahan dengan murah dan cepat, pemanasan global juga memperpanjang musim kemarau dan menyebabkan gambut mengering lebih lama dan meningkatkan resiko kebakaran hutan. Kebakaran hutan dan kekeringan menyebabkan pelepasan jutaan ton CO2 ke udara yang berdampak besar pada perubahan iklim.
Kebakaran hutan dan kekeringan juga menyebabkan musnahnya keanekaragaman hayati karena hilangnya ruang lingkup flora dan fauna khas gambut tropis, juga hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat. Tercemarnya tanah dan air karena berubahnya komposisi kandungan air pada lahan gambut membuat air tidak lagi dapat dikonsumsi atau bahkan tidak digunakan untuk mencuci dan membersihkan diri.
Dampak Sosial
Kerusakan ekosistem gambut juga menyebabkan hilangnya pengetahuan lokal dan bergesernya budaya misalnya melemahnya budaya gotong royong berubahnya etos dalam bercocok tanam. Tergantikannya budaya pemanfaatkan lahan dengan keberagaman tanaman yang memberikan keragaman sumber penghidupan yang lebih berkelanjutan menjadi model sistem monokultur.
Degradasi ekosistem gambut menyebabkan hancurnya ruang hidup manusia terutama berbagai kelompok marginal, meluasnya lahan-lahan ‘tidur’ yang rentan ‘diambil-ahli’ untuk perkebunan, langkanya air bersih banjir, dan kekeringan yang silih berganti. Degradasi lahan ini tentunya mempengaruhi derajat ekonomi masyarakat yang tinggal dan bergantung di sana. Kemiskinan kemudian mengetuk rumah-rumah masyarakat sekitar lahan yang terdegradasi. Degradasi lahan secara otomatis juga membuat hilangnya kemandirian pangan, pemiskinan masyarakat sekitar terutama perempuan dan kelompok marjinal.
Sebagai jalan bertahan hidup, maka migrasi laki-laki dan anak-anak muda untuk mencari sumber penghidupan baru dianggap menjadi salah satu jalan keluar. Kemudia tinggallah perempuan dan anak-anak di desa, hal ini menyebabkan peningkatan jumlah perempuan sebagai kepala keluarga hingga akhirnya ada pula perempuan yang beralih pekerjaan yang dari awalnya bertani kini menjadi buruh harian lepas dalam perkebunan sawit dengan segala resiko kerja tak terlindungi.
Dimensi ketidakadilan gender dan eksklusi sosial dalam degradasi ekosistem gambut pada akhirnya menimbulkan deretan masalah lainnya bagi masyarakat sekitar khususnya perempuan. Berawal dari kemiskinan karena degradasi lahan hingga akhirnya berdampak pada tingginya angka putus sekolah pada anak-anak dari kelompok marjinal, tingginya kasus perkawinan anak dan tingginya angka stunting. Tak hanya itu, degradasi lahan ini juga berdampak pada terancamnya budaya lokal seperti hilangnya pengetahuan lokal mengenai tanaman obat-obatan dari alam, bahan baku ayaman hingga bahan pangan lokal.
Indonesia Climate Change Trust Fund telah menyalurkan pendanaan mengenai gambut serta melibatkan perempuan di empat provinsi di antara lain di Riau (melalui Riau Women Working Group, Yayasan Mitra Insani, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FAPERIKA) Universitas Riau, Perkumpulan Elang), Jambi (melalui Konsorsium Restorasi Gambut Jambi), Kalimantan Barat (melalui SAMPAN Kalimantan), dan Kalimantan Tengah (melalui Yayasan Borneo Nature Indonesia).
Memperingati Hari Perempuan Pedesaan Internasional pada 15 Oktober lalu, Indonesia Climate Change Trust Fund juga hadir dalam diskusi yang bertema ‘Perempuan Desa Gambut’ yang dilaksanakan oleh Jurnal Perempuan dan Kemitraan Indonesia. Restorasi lahan gambut tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Dalam diskusi tersebut hadir Kepala Deputi III Badan Restorasi Gambut (BRG) Dr. Myrna Asnawati Safitri. Menurutnya, upaya memulihkan fungsi ekosistem lahan gambut, harus diikuti dengan komitmen untuk merawat lahan gambut tersebut. “Kita tidak bisa memulihkan sesuatu kalau kita tidak punya niat dan tidak punya kemampuan dan kemauan untuk merawat,” tandasnya. Dr. Myrna menjelaskan mengenai dua hal yang perlu diperhatikan dari perempuan dan restorasi gambut yaitu mengenai merawat, perempuan memiliki keunikan dalam hal merawat dan yang mengenai restorasi lahan gambut, artinya berbicara mengenai kepentingan semua pihak sehingga dibutuhkan inklusifitas. Maka jika membahas restorasi gambut tidak mungkin tak mengikutsertakan perempuan.
sumber foto: indozone.id dan dokumentasi RWWG