Bisakah Pemuda Bersumpah Minim Sampah?
Ikrar yang diputuskan pada Kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta (yang dulu dikenal sebagai Batavia) masih kita rayakan hingga sekarang. Betapa pentingnya sumpah yang mempersatukan pemuda pemudi di Indonesia kala itu, pengakuan terhadap tumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan menjungjung tinggi bahasa persatuan.
Pemuda pemudi dikenal sebagai agen perubahan, namun perubahan seperti apa yang Indonesia butuhkan?
Sekecil dan sesedikit apa pun perubahan kebiasaan yang kita ubah akan menghasilkan dampak yang signifikan, terlebih jika dilakukan secara masif dan konsisten. Banyak perubahan yang bisa dilakukan pemuda, namun perubahan yang paling mudah dimulai dari diri sendiri dan mungkin bisa menginpirasi sekitar.
Anak-anak muda Indonesia diajak memulai gaya hidup minim sampah untuk mengatasi isu persampahan, khususnya plastik. Gerakan mengajak anak muda Indonesia untuk hidup seminim mungkin dengan sampah plastik dinilai bakal berdampak besar jika dilakukan secara konsisten oleh banyak orang.
Produksi sampah plastik nasional mencapai 175.000 ton per hari. Dengan jumlah itu, sedikitnya Indonesia memproduksi 63,9 ton sampah plastik per tahun (Kompas, 10/3/2019).
Adapun data Kementerian Perindustrian mencatat, pada 2019, ada 7,2 juta ton konsumsi plastik di Indonesia per tahun. Baru 13 persen di antaranya yang didaur ulang dan masuk dalam ekonomi sirkular dalam negeri. Salah satu penyebab rendahnya angka plastik yang didaur ulang adalah pemilahan plastik bekas yang belum optimal.
Pendiri gerakan Saya Diet Kantong Plastik, Della Oktarina, mengatakan, sampah plastik jika dibiarkan menumpuk akan mencemari lingkungan dan laut. Ia mengajak anak muda untuk bijak membeli atau mengonsumsi suatu produk. Tujuannya untuk mengurangi sampah.
”Solusi untuk masalah sampah adalah memulai gaya hidup minim sampah. Ini bisa dimulai dengan mengikuti prinsip 5R, yaitu refuse (menolak produk plastik sekali pakai), reduce (mengurangi plastik), reuse (memanfaatkan barang yang ada), recycle (mendaur ulang), dan root (membusukkan sampah organik),” kata Della, Minggu (11/10/2020) dalam seminar virtual bertajuk Less-Waste Lifestyle: Small Changes, Big Impact.
Cara lain untuk belajar hidup minim sampah adalah dengan memeriksa tempat sampah di rumah. Seseorang perlu mengevaluasi jenis sampah yang paling banyak ia hasilkan dalam sehari. Setelahnya, ia dapat belajar cara mengurangi sampah tersebut.
”Tanyakan ke diri kalian setiap mau membeli atau mengonsumsi sesuatu. Misalnya, apa saya benar-benar membutuhkan barang ini? Apa ada alternatif lain tanpa kemasan plastik? Apa barang ini bisa saya gunakan berkali-kali?” tambah Della.
Menurut dia, sampah plastik semakin menumpuk karena beberapa hal, salah satunya persepsi publik soal plastik. Banyak orang yang menilai plastik sebagai barang sekali pakai, lalu dibuang.
Akibatnya, sampah plastik yang menumpuk akan mencemari lingkungan dan laut. Hingga kini, Indonesia termasuk salah satu negara penghasil sampah plastik terbesar di lautan. Negara lain yang masuk dalam daftar ialah China, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Untuk belajar hidup minim sampah adalah dengan memeriksa tempat sampah di rumah. Seseorang perlu mengevaluasi jenis sampah yang paling banyak ia hasilkan dalam sehari. Setelahnya, ia dapat belajar cara mengurangi sampah tersebut.
World Economic Forum memprediksi bahwa jumlah sampah plastik akan lebih banyak dari ikan di laut pada 2050. Sementara itu, riset berjudul ”Predicted Growth in Plastic Waste Exceeds Efforts to Mitigate Plastic Pollution”, sebanyak 53 juta metrik ton sampah plastik akan masuk ke ekosistem perairan dunia pada 2030.
”Saya percaya, anak muda adalah agen perubahan untuk kurangi sampah plastik. Sekecil dan sesedikit apa pun perubahan kebiasaan kita akan menghasilkan dampak yang signifikan, terlebih jika dilakukan bersama dan konsisten,” kata Della.
Co-founder Demi Bumi, Jessica Halim, mengatakan, perilaku hidup minim sampah perlu dilatih agar menjadi kebiasaan. Ini bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, seperti membawa kantong belanja, membawa botol minum, dan membawa wadah sendiri saat belanja.
Saya percaya anak muda adalah agen perubahan untuk kurangi sampah plastik. Sekecil dan sesedikit apa pun perubahan kebiasaan kita akan menghasilkan dampak yang signifikan, terlebih jika dilakukan bersama dan konsisten
Lebih lanjut, masyarakat perlu memilah sampah rumah tangganya sendiri. Sampah organik bisa diolah dalam komposter menjadi pupuk cair, sedangkan sampah organik bisa dibawa ke bank sampah terdekat.
”Tidak sulit melakukan itu semua. Kita bisa belajar dari banyak sumber. Produk-produk alami yang bisa didaur ulang dan tidak mencemari lingkungan juga ada di toko daring,” kata Jessica.
Di sisi lain, riset dan inovasi untuk merespons masalah sampah masih minim di Indonesia. Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) mencatat, pada 2015-2025, hanya ada 475 penelitian terkait sampah dengan alokasi dana Rp 32,5 miliar. Adapun Kemristek mengelola dana riset Rp 1 triliun hingga Rp 1,4 triliun per tahun (Kompas, 12/6/2020).
Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemristek Ocky Karna Radjasa mengatakan, pada masa pandemi Covid-19, pihaknya menerima proposal riset pada Oktober 2020 untuk pendanaan 2021. ”Pengembangan mikroorganisme jadi salah satu topik (riset). Pengalokasian disiapkan,” katanya.
Jadi menurutmu, bisakah anak muda melakukan perubahan kecil seperti mengurangi sampah pribadinya?
Mari mulai dari diri sendiri, kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita lakukan berdampak bagi lingkungan dan tentunya semua ekosistem di bumi!
Dikutip dari kompas.id