Terumbu Karang di Tengah Pandemi
Kemunculan penyakit yang menyerang sistem pernapasan manusia yang disebabkan virus korona atau dikenal dengan Covid-19, sontak membuat masyarakat dunia kalang kabut. Bagaimana tidak, virus ini dapat menyerang siapa saja tanpa memandang kelas sosial sang korban. Tingkat persebarannya juga tergolong masif.
Indonesia tak luput dari serangan. Hal ini dikonfirmasi secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 untuk kasus positif pertama. Sejak terdeteksi, Indonesia belum bisa dikatakan “bersih” dari virus korona sampai hari ini. Tren kasus positif cenderung meningkat. Per 13 Mei 2020, jumlah warga yang terjangkit sebanyak 15.438 orang. Adapun angka pasien yang berhasil sembuh 3.287 orang, lebih banyak dari yang meninggal, 1.028 orang. Virus yang jadi momok menakutkan ini telah menghantam sektor usaha nasional, salah satunya pariwisata. Tak sedikit tempat wisata yang terpaksa ditutup. Alasannya jelas, karena sepi pengunjung dari dalam negeri dan luar negeri. Kondisi tersebut merupakan imbas dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Langkah ini dipilih untuk mempercepat berlalunya pandemi dengan cara membatasi kegiatan tertentu, termasuk pergerakan orang.
Sementara itu, meluasnya penerapan lockdown di beberapa negara berdampak terhadap pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dalam kurun Januari-Februari 2020, pertumbuhan wisatawan mancanegara dikategorikan negatif. Penyusutan ini menembus angka 30,42%. Dilihat dari pintu masuk utama melalui bandar udara, maka terdapat 3 provinsi dengan penurunan terbesar, yaitu Bali 32%, Nusa Tenggara Barat 32,36%, dan Sulawesi Utara 92,58% (Kemenparekraf, 2020). Uniknya, ketiga provinsi tersebut dikenal unggul dalam hal wisata bahari dan eksotisme terumbu karangnya.
Momentum Pemulihan
Di tengah pandemi, masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor wisata bahari praktis mengalami kegetiran. Pendapatan kian tipis, sedangkan tuntutan hidup terus berjalan. Namun di balik pukulan keras pandemi, ternyata ada maksud yang hendak disampaikan alam semesta. Pesan ini disinyalir sebagai titik awal penyeimbangan ekosistem yang selama ini diusik manusia, salah satunya terumbu karang.
Sebelum virus korona muncul, tentu saja terumbu karang menerima dampak langsung yang timbul dari aktivitas wisata bahari, seperti kontak fisik, baik sengaja maupun tidak disengaja terhadap terumbu karang saat wisatawan melakukan diving atau snorkeling . Gangguan (disturbance ) tersebut secara kumulatif berkontribusi menekan terumbu karang (Hawkins et al,2005). Belum lagi ditambah kegiatan destructive fishing, illegal fishing , dan perubahan iklim global yang membuat suhu air laut meningkat sehingga berdampak terhadap pemerosotan luas tutupan karang.
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan (archipelago state ) dengan luas terumbu karang sebesar 2,5 juta hektare. Kurang lebih dua per tiga jenis karang dunia dapat dijumpai di Indonesia, itu sebabnya negara kita diklasifikasikan berada dalam segitiga karang (coral triangle ) dunia. Ada hal yang menarik yaitu, terdapat 569 jenis karang keras (ordo Scleractinia) dari 845 total spesies karang dunia atau sebesar 67% berada di perairan Indonesia. Angka itu tampak begitu besar. Apa jadinya kalau luas tutupan karang Indonesia berkurang? Dipastikan akan terjadi penurunan fungsi ekologis dan ekonomis yang dimiliki terumbu karang itu sendiri.
Terumbu karang diketahui mampu mengurangi erosi, sebagai tempat penyedia makanan bagi biota laut, tempat berlindung dan tempat pemijahan (nursery ground ) bagi beberapa biota karang ekonomis seperti jenis ikan karang, tiram mutiara, udang karang, dan biota karang ekonomis lainnya. Bayangkan saja bila kualitas dan tutupan karang menurun, masyarakat di kawasan pesisir dan para operator wisata bahari yang menggantungkan hidup dari kunjungan wisatawan pasti merugi. Faktor penyebabnya jelas. Keindahan panorama objek bawah laut yang dulu menawan bagi wisatawan dirasa kurang atraktif lagi. Di sisi lain, nelayan akan menjerit akibat gagal memenuhi permintaan konsumen atas ikan karang dan beberapa biota karang ekonomis.
Kini gangguan berkurang drastis. Berkat virus korona, manusia dipaksa mengurung diri di dalam rumah. Fenomena ini pun dimanfaatkan terumbu karang dengan melancarkan strategi pemulihan pascamengalami gangguan. Komunitas terumbu karang yang bertahan setelah berlalunya gangguan, selanjutnya pada fase pemulihan akan mereorganisasi komunitas terumbu karang yang baru. Mengutip Nystrom dan Folke (2001) secara alamiah proses ini bergantung pada memori ekologis ekosistem terumbu karang yang merupakan komposisi dan distribusi organisme serta interaksi dalam ruang dan waktu, termasuk pengalaman (life history ) dengan lingkungan. Kita berharap proses pemulihan terumbu karang didukung oleh semesta agar berlangsung sempurna.
Melestarikan Terumbu Karang
Jika ingin terhindar dari bencana ekologi dan bencana ekonomi pada masa yang akan datang, maka misi menjaga kelestarian terumbu karang wajib dijalankan. Menurut hemat penulis, ada beberapa cara yang dapat ditempuh supaya terumbu karang tetap lestari. Pertama, implementasi visitor management system yang terintegrasi di seluruh kawasan wisata bahari. Sistem ini mencoba mengawinkan aspek dari nilai manfaat terumbu karang (co-benefit ) dan peran dalam menjaga keseimbangan ekologis (co-environment ).
Konsepnya merujuk pada jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di suatu kawasan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan terhadap ekosistem terumbu karang. Apabila suatu kawasan jumlah pengujung yang melakukan diving dan snorkeling telah menyentuh ambang batas yang ditentukan, maka secara otomatis pengujung yang baru nantinya ditawarkan jenis aktivitas wisata bahari yang lain atau disarankan melakukan aktivitas sejenis di titik yang berbeda.
Sistem tersebut sangat mesti dirancang sehingga daya dukung kawasan dalam menerima pengunjung bisa diperhatikan untuk keberlanjutan sumber daya ekosistem terumbu karang. Dalam penyusunannya, prinsip kehati-hatian (precautionary principle ) layak diadopsi agar tidak merugikan pelaku usaha atau bahkan mengancam keberadaan terumbu karang. Selanjutnya, cara ini dinilai senada dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai salah satu dokumen panduan dalam pemanfaatan kawasan sesuai dengan zonasinya.
Kedua, perlu adanya eskalasi kegiatan pengawasan dalam mengantisipasi aksi pelaku kejahatan ekologis yang bertambah banyak dan membahayakan ekosistem terumbu karang. Terlebih ketika situasi pandemi ini, Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan (TPKP) justru meningkat seperti yang terjadi di Sulawesi Utara pada medio dan akhir April lalu. Untuk itu, kolaborasi dengan masyarakat mutlak dilakukan lewat pelibatan 2.581 kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) yang tersebar di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Gotong royong Pokmaswas bersama tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Angkatan Laut, dan Angkatan Udara adalah kunci untuk mempersempit kejadian serupa terulang di perairan Indonesia.
Di samping itu, penguatan infrastruktur pengawasan untuk memantau 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.000 km adalah suatu hal yang wajib. Sayangnya, ikhtiar ini belum tercermin di dalam pengalokasian anggaran pemerintah. Sebut saja anggaran yang bersumber dari rupiah murni di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP menunjukkan tren penurunan. Sejak 2016 total anggaran untuk mengawasi laut turun dari angka 1,5 triliun pada 2015 ke 1,1 triliun. Sesudah itu pemangkasan anggaran perlahan berulang ke angka Rp855,4 miliar (2017), Rp813,5 miliar (2018), Rp646,5 miliar (2019). Pemotongan anggaran tersebut diyakini mereduksi kadar pengawasan di lapangan. Padahal unit kerja tersebut punya tujuan melindungi sumber daya kelautan dan perikanan dari kegiatan ilegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan.
Meski tahun ini pemerintah telah merealokasi anggaran secara besar-besaran untuk penanganan Covid-19, tampaknya dukungan politik anggaran untuk pengawasan pemanfaatan sumber daya laut perlu dipertimbangkan lagi sehabis pandemi. Pasalnya, cara ini difokuskan untuk menekan praktik perikanan yang tidak berkelanjutan, serta nyata mengganggu stabilitas ekosistem terumbu karang. Dua hal tersebut yang menjadi pokok pikir penulis selain secara nasional dapat memperkuat jejaring pengaman terumbu karang, juga berkontribusi membantu upaya pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) poin 14, yaitu Ekosistem Lautan (Life Below Water).
Merawat kelestarian terumbu karang kita sebagai warisan alam bukan suatu keniscayaan. Menjaga agar mortality index terumbu karang terus mendekati angka nol adalah keharusan. Jangan sampai ketika pandemi mereda, masyarakat mulai dilonggarkan untuk beraktivitas di luar rumah, lantas orang berduyun-duyun untuk berwisata bahari tanpa ada pengaturan yang ajek. Pun demikian, ketika situasi sekarang senyap, tidak boleh ada oknum yang malah lolos dari pengawasan, kemudian melakukan destructive dan illegal fishing . Semua mesti dilakukan dalam satu tarikan napas. Bilamana tidak memerhatikan aspek keseimbangan ekologis terumbu karang dalam memanfaatkan sumber daya laut, cepat atau lambat akan ada bahaya menanti di depan kita.
Arikel ini terbit di Koran Sindo edisi 18 Mei 2020 dan sindonews.com pada 19 Mei 2020
Ditulis oleh Joshua Breinhmamana, Staf Indonesia Climate Change Trust Fund (Program Officer COREMAP-CTI Asian Development Bank)