Potensi Capai 10 T, Berikut Empat Strategi Usulan Bappenas dalam Mengelola Perikanan Udang
Jakarta – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan, potensi perikanan udang yang berada di Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) 718 Laut Arafura sebanyak 50,3 ribu ton atau setara Rp10 triliun per tahun.
Saat ini, WPP 718 dijadikan sebagai contoh kajian pengelolaan WPP Negara Republik Indonesia (NRI) berbasis perikanan udang untuk mendukung scientific base policy.
“Potensi perikanan udang yang berada di WPP 718 mencapai Rp 10 triliun per tahun. Sementara produksi dari WPP 718 baru 11% dari total potensi yang mencapai 2.673,6 ribu ton. Capaian 11% itu menggunakan 20,3 ribu unit kapal, dan 26 ribu unit alat tangkap,” ujar Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Sri Yanti dalam “Workshop Hasil Kajian Bio Ekonomi Perikanan Udang di WPP 718”, yang dilangsungkan secara daring, Kamis (10/9).
Dibandingkan WPP lainnya, kata Yanti, potensi WPP 718 merupakan terbesar. Kendati produksinya terkecil dibanding 11 WPP lain di seluruh Indonesia.
Karena itu, menurutnya perlu optimalisasi pemanfaatan yang berkelanjutan. Sebab, WPP NRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan. Hal ini meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Prioritas RPJMN
Sri Yanti membeberkan, terdapat dua kegiatan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pertama, menjadikan WPP sebagai basis spasial dalam pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries), transformasi kelembagaan dan fungsi WPP, meningkatkan kualitas pengelolaan WPP, serta pengelolaan dan penataan ruang laut dan rencana zonasi pesisir.
Kedua, mengelola ekosistem kelautan dan pemanfaatan jasa kelautan secara berkelanjutan.
Meski demikian, jelas Yanti, kebijakan pengelolaan WPP tidak dapat diterapkan dengan perlakuan yang sama “fit for all”. Sebab, masing-masing WPP memiliki produktivitas dan karakteristik tersendiri.
“Karena itu, Bappenas mengharapkan berbagai masukan dari stakeholders dalam memperkaya penyusunan model bieokonomi. Agar hasilnya semakin produktif dan optimal,” terang Yanti.
Strategi Kebijakan
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan/Perencana Utama Bappenas Gellwynn Jusuf mengingatkan bahwa tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bukan tujuan. Namun merupakan instrumen pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI). Sehingga penerapan kebijakan dapat dioptimalkan mencapai target yang ditetapkan.
Ia pun mengusulkan empat langkah yang dapat diterapkan sebagai strategi kebijakan.
Pertama, diperlukan kajian/ riset pengelolaan WPP. Kedua, kapal wajib melaporkan data hasil tangkapan per hari, per lokasi. Ketiga, membangun Branding Udang Arafura. Dan keempat, membangun kemitraan Pemerintah-Industri Perikanan Udang.
“Nelayan juga perlu mendapatkan kesejahteraan dari kegiatan mereka. Sehingga kebijakan bisa lebih implementatif di lapangan. Selesai menangkap udang, kita minta nelayan untuk melaporkan tangkapan mereka. Dengan demikian, pembangunan data base dapat diwujudkan secara optimal,” papar Gellwynn.
Senada dengan itu, Peneliti IPB Bogor, Prof. Akhmad Fauzi mengatakan, resource rent tax merupakan komponen penting dalam pengelolaan perikanan. Karena hal tersebut bisa menjadi driving force (penggerak) terjadinya over exploitasi (OA).
Namun di sisi lain, bisa menjadi instrumen pengendalian keberlanjutan (MEY). Apalagi penentuan resource rent tax atau RRT dalam perikanan sangat kompleks.
Sumber artikel indnews.id pada 10 September 2020