Pandemi dan Timbulan Sampah di Gili Trawangan, Meno, dan Air
Sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) dan sekaligus sebagai Kawasan pariwisata Gili Meno, Air, dan Trawangan (Gili Matra) menjadi salah satu kawasan yang prioritas dalam hal pengelolaan dan pengawasan baik di Kawasan daratan maupun Kawasan Laut.
Berada di Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (NTB), Gili Matra memiliki beberapa isu penting terkait dalam hal pengelolaan Kawasan. Pembangunan infrastruktur pendukung bisnis wisata berbanding lurus dengan jumlah wisatawan. Namun di sisi lain, infrastruktur pendukung dalam penanganan masalah sampah dirasa masih dianggap belum maksimal. Kelompok masyarakat bergerak bersama-sama di masing-masing gili dalam upaya penanganan terkait isu persampahan dengan menggandeng pemanfaat Kawasan dan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) KLU. Kelompok masyarakat tersebut adalah Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) di Gili Trawangan, Meno Lestari di Gili Meno, dan Gili Care di Gili Air.
Jumlah timbulan sampah makanan organik baik dari hotel dan warga yang menempati pulau jumlahnya bervariasi di setiap gili. Gili Trawangan merupakan pulau penghasil sampah paling banyak dibanding dengan Gili Meno dan Gili Air. Demikian dikatakan Vian Hendrayadi, SKM kepala UPT Persampahan DLH PKP KLU, sehingga, Gili Trawangan yang dengan jumlah penduduk dan pengunjung terbanyak sudah memiliki Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) sejak Maret 2020. Saat kondisi normal sampah organik yang di angkut menuju TPST berkisar sebanyak 3 ton dalam sehari. Sehingga untuk menunjang pengumpulan dari sumber dan pengangkutan sampai menuju TPST, FMPL memiliki kendaraan opersional berupa dua unit mobil open kap, delapan cidomo, dan lima buah kendaraan roda tiga.
“FMPL ini sendiri diberikan wewenang untuk menarik retribusi dari pemanfaat Kawasan sesuai dengan kesepakatan tertulis yang telah disahkan oleh pemerintah setempat”. Jelas Vian
Berbeda dengan Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air masih belum memilki TPST. Sehingga dalam upaya penanganan sampah, kedua gili tersebut mengumpulkan sampah yang telah diangkut baik dari pemanfaat Kawasan dan warga setempat di pesisir pantai terlebih dahulu sebelum diangkut mengunakan tongkang menuju Pulau Lombok untuk kemudian diangkut oleh Dinas Lingkungan Hidup menuju darat Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sebagaimana dikatakan Masrun Kepala Dusun (Kadus) Gili Meno, Saat kondisi normal jumlah sampah sisa makanan yang dihasilkan oleh hotel baik hotel besar dan kecil sebanyak satu ton perhari pada saat high season. Pihak mereka menekan pemanfaat Kawasan dan warga untuk melakukan pemilahan antara sampah organik dan non-organik agar memudahkan saat pengangkutan. Kondisi hotel dan Kawasan gili yang terbilang kecil jika dibandingkan dengan Gili Trawangan, armada yang digunakan pun cukup dengan empat cidoma saja.
Pada saat pandemic Covid-19 saat ini bisnis pariwisata dan kunjungan wisatawan menurun, timbulan sampah secara otomatis juga menurun. Namun demikian masyarakat Gili Trawangan berharap kedepan sampah, baik sampah organik maupun non-organik, dapat diolah secara maksimal di TPST. Berkenaan dengan hal tersebut, pihaknya membutuhkan SDM yang lebih banyak dan handal dalam penanganan dan pengolahan sampah secara terpadu. Sedangkan, Meno Lestari di Gili Meno berharap agar Gili Meno juga mempunyai TPST sehingga bisa mengolah sampahnya secara mandiri dan terpadu. Terlebih insenerator dan pengolahan sampah organik yang bisa dijadikan kompos atau pupuk. Selain itu, kondisi air di Gili Meno berdasarkan data dari DLH, 30% air di Gili Meno telah tercemar limbah. “Mengingat masyarakat masih menggunakan sumur galian sehingga menurutnya di Gili Meno membutuhkan IPAL untuk pengolahan air limbah septic tank”, jelas Masrun. Untuk mengurangi pencemaran air di Gili Meno, Masrun menekankan kepada investor untuk menggunakan bioseptictank sehingga effluent-nya bisa digunakan sebagai air penyiram tanaman.
Apabila sudah kondisi sudah normal kembali, pengolahan sampah baik di Gili Trawangan, Meno, dan Air perlu dilakukan lebih maksimal. Penataan kembali infrastruktur dan TPST di Gili Trawangan dapat dijadikan sebagai tempat edukasi baik bagi warga setempat maupun wisatawan. Selain itu promosi pemilahan sampah bagi bisnis pariwisata masih perlu gencar dilakukan. Melalui event-event baik nasional dan internasional yang akan diselenggarakan di Gili Matra diharapkan menjadi salah satu cara untuk membuat geliat pariwisata di Gili terlihat kembali dengan pengelolaan sampah yang lebih baik. Oleh kerena itu, peran Pemerintah Desa (Pemdes), Pemda dalam hal ini Dinas Pariwisata, dan perusahaan pemanfaat Kawasan tentu sangat diperlukan.