- August 10, 2022
- News
Mengenal Konservasi Ekosistem Karbon Biru, Didorong dalam Pembahasan G20 di Bali

Seminar Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital di Bali Nusa Dua Convention Centre, Badung Bali, pada Senin 8 Agustus 2022
TRIBUN-BALI.COM, BADUNG – Ekosistem Karbon Biru (Blue Carbon) didorong menjadi prioritas utama dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia maupun global.
Mangrove dan padang lamun dapat menyerap dan menyimpan karbon alami (carbon sink) yang sangat besar dalam waktu yang sangat lama, bahkan lebih banyak dari hutan terestrial.
Hal tersebut disampaikan, Country Director Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia, Jiro Tominaga, sebagai pembicara kunci dalam Seminar, “Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital” di Bali Nusa Dua Convention Centre, Badung Bali, pada Senin 8 Agustus 2022.

Seminar Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital di Bali Nusa Dua Convention Centre, Badung Bali, pada Senin 8 Agustus 2022.
“Kami yakin jika ekosistem Karbon Biru Indonesia ditata dan di kelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, kita pasti bisa berkontribusi lebih banyak dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 % secara global hingga tahun 2030,” kata Jiro
Menurut dia, habitat laut dan pesisir dapat memainkan peran penting dalam mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim.
Ekosistem pesisir seperti bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun yang berperan sebagai reservoir karbon dalam, sekarang biasa disebut Karbon Biru.
“Mereka merupakan bagian penting dari total penyerapan karbon di lautan melindungi masyarakat pesisir dari gelombang badai dan dampak kenaikan permukaan laut juga melestarikan dan meningkatkan habitat perikanan yang mendukung nelayan dan pariwisata berbasis laut,” ujarnya.
Indonesia, sebagai negara dengan garis pantai terbesar kedua di dunia. Pada tahun 2019, ADB mengumumkan “Rencana Aksi untuk Lautan yang Sehat dan Ekonomi Biru Berkelanjutan untuk Kawasan Asia dan Pasifik” dan meluncurkan Prakarsa Pembiayaan Laut.
“Ini bertujuan untuk memperluas investasi hingga $5 miliar antara 2019 dan 2024 untuk mempromosikan ekonomi biru dan menciptakan peluang bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang dapat diandalkan.
Yang mencakup berbagai bidang termasuk pariwisata dan perikanan berkelanjutan, konservasi ekosistem pesisir dan laut, pengurangan sumber pencemaran laut berbasis daratan, dan pembangunan infrastruktur pelabuhan dan pesisir.
Dari tahun 2019 hingga 2021, ADB memberikan komitmen kumulatif sebesar $1,4 miliar dan membuat kemajuan dalam mengimplementasikan rencana aksi tersebut.
ADB juga mendukung para anggotanya untuk memobilisasi kredit karbon melalui Climate Action Catalyst Fund yang diluncurkan tahun lalu di COP 26.
Pemerintah dan lembaga keuangan internasional dapat memberikan insentif ini melalui peraturan dan instrumen de-risiko keuangan.
Pemerintah direkomendasikan untuk menetapkan kerangka kerja untuk proyek konservasi seperti Kawasan Konservasi Laut dengan tujuan karbon spesifik dan memimpin inisiatif yang berani untuk mengatasi ancaman seperti polusi pantai atau limpasan nutrisi.
“Kita juga harus diingatkan bahwa dengan dampak menguntungkannya terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat pesisir, solusi Karbon Biru kaya akan manfaat tambahan di luar profil pengurangannya,” paparnya.
Pihaknya mendukung upaya peningkatan momentum Karbon Biru oleh pemerintah Asia dan Pasifik.
Sementara itu, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, J. Rizal Primana, menurutnya pemerintah harus berpacu untuk menjaga dan merehabilitasi ekosistem Karbon Biru kita yang semakin terdegradasi.
Sebagai catatan, luas padang lamun di Indonesia termasuk terluas di dunia hingga 293.465 – 875.957 Ha, dan mampu menyerap karbon hingga 119,5 ton karbon per hektar.
“Begitu pun dengan mangrove Indonesia yang seluas 3,3 juta Ha adalah terbesar di dunia, dan mampu menyimpan karbon sebanyak 950 ton karbon per hektarnya,” papar dia
Namun luas padang lamun di Indonesia, menurut hasil kajian Pusat Riset Oseanografi Indonesia dalam Buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia tahun 2021 disebutkan ekosistem ini mengalami penurunan sebesar 2,8 % per tahun atau sekitar 0,4 ha per tahun pada periode 2015-2021.
Sementara mangrove Indonesia, dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 menyebutkan kurang lebih seluas 637.824,31 Ha atau sekitar 19,28 % berada pada kondisi kritis.
“Ke depan, kita ingin memastikan ekosistem Karbon Biru bisa masuk NDC (Nationally Determined Contribution),” ucapnya.
Tentu saja dorongan ini harus melalui perencanaan pembangunan Karbon Biru yang berkelanjutan, dan harus didukung komitmen semua pihak.
“Untuk mencapai ini diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat mengakomodasi semua pihak,” jelasnya.
Dalam seminar ini, Deputy Country Director Agence Francaise De Developpement (AFD) untuk Indonesia, Sophia Chappellet yang menjadi salah satu pembicara menyampaikan bahwa AFD mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam pengelolaan ekosistem karbon biru.
“Salah satunya melalui kegiatan pengintegrasian ekosistem karbon biru kedalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim Indonesia,” kata dia.
Sementara Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian Bappenas, Sri Yanti, menyampaikan, pembangunan Karbon Biru Berkelanjutan harus mengedepankan upaya perlindungan dan kelestariannya dengan berbasis masyarakat.
Menurutnya, guna mendukung upaya tersebut diperlukan mekanisme pembiayaan sehingga dapat berkontribusi terhadap pencapaian target NDC.
“Saat ini ada beberapa opsi pembiayaan untuk kegiatan yang berkaitan dengan karbon biru selain dari APBN. Itu bagus, karena mengandalkan APBN saja tidak akan cukup untuk mencapai target NDC ini,” tutur dia.
Ke depan pihaknya ingin juga bisa diintegrasikan dengan framework yang disusun, dan memastikan pembiayaan untuk keberlanjutan pembangunan Karbon Biru ini.
Apalagi Indonesia punya potensi karbon biru yang besar sebagai potensi sumber modal yang baik.
“Karena itu kita perlu juga mendengar pengalaman-pengalaman negara lain yang telah menjalankan dan sukses dalam pembangunan Karbon Biru mereka,” jelasnya.