- February 22, 2022
- News
Mengenal COREMAP-CTI, Program Strategis Pemerintah dalam Melestarikan Terumbu Karang dan Kawasan Pesisir
Mengenal
COREMAP-CTI, Program Strategis Pemerintah dalam Melestarikan Terumbu Karang dan
Kawasan Pesisir Kompas.com – 11/12/2021, 10:00 WIB Dok. ICCTF – JAKARTA,
KOMPAS.com – Kelestarian sumber daya laut dan pesisir menjadi perhatian serius
pemerintah Indonesia. Hal ini mengingat keduanya berpengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat pesisir sekaligus pemanasan global. Untuk itu, sejak
1998, pemerintah telah menginisiasi program strategis Coral Reef Rehabilitation
and Management Program (COREMAP).
Executive
Director Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Dr Tonny Wagey
menjelaskan, COREMAP-CTI hadir sebagai respons keprihatinan dunia atas
degradasi wilayah pesisir, utamanya terumbu karang. Program strategis tersebut
bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola terumbu karang serta
ekosistemnya agar tetap lestari. Selain itu, COREMAP-CTI juga didesain untuk
menghasilkan model inovasi pembangunan, terutama dalam mengelola ekosistem
pesisir dan laut secara berkelanjutan serta mendukung upaya penanganan dampak
perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan. “COREMAP merupakan
kegiatan dengan pendanaan terbesar dalam sejarah Indonesia, khususnya berkaitan
dengan ekosistem pesisir yang di dalamnya mencakup terumbu karang. Artinya, ini
kegiatan pengelolaan penyelamatan ekosistem terbesar dalam sejarah
Indonesia,” terang Tonny dalam sesi wawancara dengan Kompas.com, Senin
(6/12/2021).
Tonny
menjelaskan, kegiatan COREMAP terbagi dalam tiga fase. Fase pertama merupakan
tahapan inisiasi yang berlangsung sejak 1998-2004. Adapun inisiasi yang
dimaksud berupa pengembangan landasan berupa data. Melalui data itu, kerangka
kerja untuk pengelolaan terumbu karang di daerah prioritas dapat disusun.
“Kalau tidak dilakukan upaya penyiapan landasan, ancaman kerusakan terumbu
karang oleh manusia bisa berdampak buruk. Bahkan, dampak yang ditimbulkan sama
signifikannya dengan kerusakan akibat perubahan iklim,” jelasnya. Fase
kedua, yakni percepatan atau implementasi, berjalan pada periode 2004-2011.
Pada fase ini, aksi pemberdayaan masyarakat yang mendukung pengelolaan secara
berkelanjutan terumbu karang dan ekosistem terkait mulai diimplementasikan.
Kemudian, fase ketiga atau pelembagaan yang berlangsung sejak 2014 hingga
sekarang. Pada fase ini pula, COREMAP direstrukturisasi oleh pemerintah,
tepatnya pada periode 2017-2019. Restrukturisasi menghasilkan perubahan
pelaksana kegiatan.
Pada
2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan pelaksanaan proyek
COREMAP fase ketiga. Proyek ini kemudian dilanjutkan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai pelaksanaan kegiatan dan didanai oleh
World Bank lewat skema loan. Sementara, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui
ICCTF diamanatkan untuk melaksanakan kegiatan yang didanai oleh hibah Global
Environment Facility (GEF) yang dikelola oleh World Bank dan Asian Development
Bank (ADB) “Kami, ICCTF terlibat di fase ujung, yaitu fase ketiga, untuk
meningkatkan efektivitas pengelolaan ekosistem pesisir prioritas. Sementara,
kelembagaan dalam monitoring ekosistem merupakan tanggung jawab LIPI,”
papar Tonny. Adapun implementasi kegiatan COREMAP yang dilakukan oleh
ICCTF-Bappenas juga sejalan dengan fungsi Bappenas sebagai enabler dalam pengembangan
kawasan perairan secara terpadu. Keberhasilan program pembangunan berkelanjutan
COREMAP nantinya dapat dijadikan model untuk direplikasi di kawasan konservasi
perairan (KKP) yang berada di daerah lainnya.
Agenda
COREMAP-CTI 2020-2022 Tonny menjelaskan, total grant dari ADB untuk pelaksanaan
kegiatan COREMAP pada periode 4 Maret 2020-31 Desember 2022 mencapai 5,2 juta
dollar Amerika Serikat (AS). Dana itu digunakan untuk mendukung pengelolaan di
tiga KKP, yakni KKP Nusa Penida, Provinsi Bali, Taman Wisata Perairan (TWP)
Gili Matra, serta Taman Pulau Kecil (TPK) Gili Balu di Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB). “Lokasi proyek COREMAP-CTI ADB juga berada di kawasan
perairan Lesser Sunda. Kawasan ini dikenal memiliki 76 persen spesies karang,
2.631 spesies ikan karang, serta 6 jenis penyu,” jelasnya. Dok. ICCTF –
Kegiatan konservasi yang dilakukan meliputi perlindungan jenis ikan endemik,
terancam dan dilindungi (endangered, threatened and protected/ETP),
rehabilitasi ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, dan lamun), serta
membangun infrastruktur ekowisata. Kemudian, kegiatan juga menyasar pada
peningkatan sistem pengawasan. Untuk hal ini, ICCTF membangun menara pemantau
berikut sarana dan prasarana pengawasan serta melakukan penguatan kelompok masyarakat
pengawas (Pokmaswas). “Kami memberikan pelatihan pada masyarakat yang tergabung
dalam Pokmaswas supaya mereka bisa mandiri pada saat proyek ini selesai. Dengan
begitu, keberlanjutan lingkungan terus terjaga,” terang Tonny. Selain itu,
imbuh Tonny, pihaknya juga melakukan pengembangan usaha ekonomi, termasuk
kegiatan pelatihan keterampilan, business plan, serta penyediaan prasarana dan
sarananya.
Ada pula
kajian rantai pasok (supply chain) untuk komoditas-komoditas unggulan, seperti
tuna, kakap, dan rumput laut. ICCTF juga berupaya meningkatkan kapasitas
personel dengan memberikan beasiswa pendidikan tingkat magister di University
of Queensland (Australia) serta pelatihan terkait pengelolaan sumber daya
kelautan dan perikanan. “Kami mengonsep Payment Ecosystem Services (PES)
serta naskah akademiknya,” jelas Tonny. Sementara, grant dari World Bank
digunakan ICCTF untuk menjalankan program konservasi yang mencakup tiga
komponen. Pertama, efektivitas pengelolaan KKP dan konservasi jenis terancam.
Dok. ICCTF – Kedua, perencanaan wilayah pesisir terpadu. Ketiga, penata layanan
sumber daya pesisir oleh masyarakat. Program tersebut dijalankan di Taman
Nasional Perairan Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan tiga kawasan
konservasi perairan di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Tonny mengatakan,
luasan marine protected area (MPA) di Laut Sawu merupakan kawasan konservasi
terbesar di Indonesia, yakni mencapai 3,3 juta hektare (ha). Sementara,
kegiatan di Papua Barat mencakup suaka alam perairan Kepulauan Raja Ampat,
Kepulauan Waigeo sebelah barat, dan KKP daerah Raja Ampat. Kegiatan yang
dilakukan meliputi pemanfaatan KKP oleh masyarakat secara berkelanjutan di Raja
Ampat dan Laut Sawu.
Kemudian,
implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) atau National Plan of Action (NPOA)
Jenis Terancam di Raja Ampat dan Laut Sawu. Ada pula dukungan implementasi
terhadap pengelolaan wilayah pesisir terpadu atau Integrated Coastal Zone
Management (ICZM) di Raja Ampat. Program COREMAP juga ditujukan untuk memberi
dukungan bagi kelompok masyarakat pengawas di Raja Ampat dan Laut Sawu.
“Selain memberdayakan masyarakat, kami juga membantu mereka mengelola
sumber daya berbasis hak adat. Mereka diberi pemahaman untuk bisa memanfaatkan
sumber daya dengan baik, tanpa harus merusak alam,” tambahnya. Selain itu,
program juga akan memberikan akses wilayah pengelolaan sumber daya perikanan
secara berkelanjutan untuk masyarakat setempat di Raja Ampat dan Laut Sawu.
Tonny
menyebutkan, dana hibah yang dikelola ICCTF untuk fase ketiga sebesar 11,4 juta
dollar Amerika Serikat (AS). Rinciannya, World Bank menyediakan dana sebesar
6,2 juta dollar AS dan ADB 5,2 juta dollar AS.
“Sejak 1998 hingga saat ini, total dana yang dikucurkan, baik loan
ataupun hibah, (mencapai) lebih kurang 200 juta dollar AS atau setara Rp 3
triliun,” tambahnya. Dana sebesar itu, lanjut Tonny, membuktikan bahwa
upaya konservasi ekosistem pesisir dan terumbu karang yang dilakukan pemerintah
Indonesia telah diakui secara internasional. Dok. ICCTF – Konservasi berbasis
spesies Selain konservasi kawasan terumbu karang dan pesisir, COREMAP juga
telah melakukan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi berbasis spesies.
Melalui
upaya tersebut, baik pemerintah maupun publik bisa mendapatkan informasi
terkait pergerakan spesies langka, seperti Cetacean (paus dan lumba-lumba)
serta Elasmobranch (hiu dan pari). Untuk Cetacean, kegiatan COREMAP meliputi
tagging paus melalui satelit, baik paus biru maupun paus sperma. Kegiatan ini
juga menjadi tagging pertama di Indonesia dengan menggunakan satelit untuk
melihat pergerakan spesies di kawasan konservasi. “Tagging tersebut dapat
dioptimalkan sebagai input dalam pengelolaan kawasan konservasi terkait
keberadaan mamalia laut, terutama di Laut Sawu yang memiliki tagline rumah bagi
mamalia laut di Indonesia,” kata Tonny. Tonny pun berharap beragam kegiatan
konservasi COREMAP pada fase ketiga dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan
kawasan konservasi sampai pada kategori dikelola secara optimal.