Indonesia Bisa Simpan 17% Cadangan Blue Carbon, dan Pengaruhi Iklim Dunia
Indonesia mempunyai potensi menyimpan 17 persen cadangan blue carbon dunia. Ini bisa terjadi melalui optimalisasi lahan mangrove seluas 3,2 juta hektar (ha).
Hal itu ditegaskan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto, pada acara National Blue Carbon Workshop yang dilaksanakan secara luring (offline) dan daring (online) bertajuk “Blue Carbon Ekosistem di Hotel Fairmont Jakarta, Selasa (8/9). “Dengan luasan tersebut, ekosistem blue carbon Indonesia dapat menyimpan hingga 17% dari cadangan blue carbon dunia. Sehingga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengurangi perubahan iklim,” ujar Arifin seperti dalam siaran pers yang diterima kumparan, Rabu (9/9).
Blue carbon adalah karbon yang diserap ekosistem pantai dan laut dan mencakup lebih dari 55% karbon hijau sedunia
Arifin menjelaskan, ekosistem pesisir terutama mangrove, padang lamun dan kawasan rawa payau merupakan ekosistem penyerap serta penyimpan karbon alami dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama (ekosistem blue carbon). Upaya mewujudkan capaian itu, kata dia, salah satunya diwujudkan dengan menginisiasi pembentukan Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBCSF). Tujuannya, untuk mengarusutamakan berbagai inisiatif dan rencana terkait blue carbon dalam skema perencanaan pembangunan Indonesia khususnya di bidang ekosistem pesisir dan lautan.
Melalui kegiatan itu, diharapkan dapat menghimpun masukan yang selaras dengan arah pembangunan rendah karbon dalam RPJMN 2020-2024 dari pemerintah dan pemangku kepentingan daerah terkait implementasi blue carbon. Masukan itu akan dibahas lebih lanjut dalam kegiatan High-level policy dialogue.
Sementara itu, Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Sri Yanti, menuturkan upaya komprehensif adaptasi dan mitigasi berbasis blue carbon diharapkan dapat menjadi salah satu strategi untuk memenuhi target Nationally Determined Contributions (NDC) di tahun 2030.
“NDC itu merupakan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia tahun 2030. Targetnya mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan mencapai 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) tahun 2030,” jelas Yanti.
Menurut dia, IBCSF mengintegrasikan upaya adaptasi dan mitigasi dengan memperkuat kerjasama antar lembaga, terutama Bappenas, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Awal 2019, Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 telah selesai disusun dan unsur blue carbon tersirat di dalam Program Prioritas Pembangunan Rendah Karbon dengan kegiatan prioritasnya adalah inventarisasi dan rehabilitasi,” ungkap Yanti menambahkan.
Upaya Kolaborasi Perubahan Iklim
Executive Director Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Tonny Wagey menambahkan, fokus penting lainnya dalam IBCSF adalah perlunya perumusan kebijakan blue carbon untuk perubahan iklim serta pengkajian ilmiah tentang potensi blue carbon di Indonesia.
Ia mengungkapkan, penghujung 2019 lalu, Department of Industry, Innovation, Science and Resources (DISER), Pemerintah Australia melakukan pendekatan dengan badan-badan Pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dalam The Indonesia Australia Blue Carbon program.
Tujuannya, kata dia, untuk mendorong kolaborasi, membangun pemahaman, dan meningkatkan pengelolaan ekosistem blue carbon terkait perubahan iklim. Juga untuk mendukung perekonomian berkelanjutan yang mendorong blue economy yang sejahtera.
Dan tahun 2020 ini ada beberapa agenda kegiatan, di antaranya Policy Dialogue, Policy Training; dan Inventory Exchange.
“Seluruh pendanaan untuk kegiatan ini akan dibiayai melalui dukungan pendanaan DISER–Australia dan Satuan Kerja (satker) ICCTF sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pesertanya berasal dari berbagai instansi dan kalangan, yaitu Kementerian/Lembaga, Pemda/Dinas, Akademisi, Peneliti, dan Mitra Pembangunan NGO/INGO,” terang Tonny.