Bappenas Rekomendasikan 68 Kapal di WPP 718
MANFAATKAN POTENSI UDANG 50,3 RIBU TON
Bappenas Rekomendasikan 68 Kapal di WPP 718
10 SEPTEMBER 2020, JAKARTA – Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merekomendasikan maksimal sebanyak 68 armada kapal di Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) 718 Laut Arafura, untuk memanfaatkan potensi perikanan udang sebesar 50,3 ribu ton dengan nilai setara Rp10 triliun per tahun. Saat ini, WPP-718 dijadikan sebagai contoh kajian pengelolaan WPP Negara Republik Indonesia (NRI) berbasis perikanan udang untuk mendukung scientific base policy.
“Bappenas merekomendasikan maksimal 68 kapal untuk mengoptimalkan potensi udang di WPP 718 sebesar 50,3 ribu ton, atau setara Rp10 triliun per tahun,” ujar Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Sri Yanti dalam Workshop Hasil Kajian Bio Ekonomi Perikanan Udang di WPP 718, yang dilangsungkan secara daring, Kamis (10/09/2020).
Berdasarkan hasil kajian Bio Ekonomi WPP 718 RI di Laut Arafura, kata dia, saat ini produksi dari WPP 718 baru 11% dari total potensi yang mencapai 2.673,6 ribu ton. Sementara itu, belum ada kapal dengan ijin dari pemerintah pusat yang beroperasi karena masih ada moratorium.
“Pemerintah bermaksud membuka moratorium itu. Agar tidak terjadi overfishing, pemerintah membatasi jumlah kapal maksimal 68 armada,” jelas Yanti.
Ia mengungkapkan, jika dibandingkan WPP lainnya, potensi WPP 718 merupakan terbesar, namun produksinya terkecil dibanding 11 WPP lain di seluruh Indonesia. Karena itu, perlu optimalisasi pemanfaatan yang berkelanjutan. Sebab, WPPNRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan, yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Prioritas RPJMN
Ia menjelaskan, ada 2 kegiatan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pertama, menjadikan WPP sebagai basis spasial dalam pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries), transformasi kelembagaan dan fungsi WPP, meningkatkan kualitas pengelolaan WPP, serta pengelolaan dan penataan ruang laut dan rencana zonasi pesisir. Kedua, mengelola ekosistem kelautan dan pemanfaatan jasa kelautan secara berkelanjutan.
“Meski demikian, jelas Yanti, kebijakan pengelolaan WPP tidak dapat diterapkan dengan perlakuan yang sama “fit for all”, sebab masing-masing WPP memiliki produktivitas dan karakteristik tersendiri. Karena itu, Bappenas mengharapkan berbagai masukan dari stakeholders terkait dalam memperkaya penyusunan model bieokonomi agar hasilnya semakin produktif dan optimal,” terang Yanti.
Ia menambahkan, upaya mewujudkan potensi perikanan udang sangat memerlukan kerjasama dari seluruh pihak terkait. Mulai dari pemerintah, pengusaha, akademisi, NGO, masyarakat nelayan, dan media massa.
“Semua pihak, termasuk media massa sangat berperan penting untuk mengawasi implementasi kajian dan kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Sehingga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat, melalui pengelolaan perikanan berkelanjutan,” tandas Yanti.
Strategi Kebijakan
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan/Perencana Utama Bappenas Gellwynn Jusuf mengatakan, upaya mencapai potensi perikanan udang senilai Rp10 triliun/tahun harus memerhatikan pengelolaan perikanan udang secara berkelanjutan. Selain itu, juga harus menjaga ekosistem bio ekonomi secara benar.
“Science itu akan memperkuat pengelolaan secara benar. Jangan terjebak bahwa kita kaya, tanpa ada pengelolaan yang benar. Sebab sekaya-kayanya kita kalau tidak dikelola dengan benar, maka kemungkinan udang bisa habis dan punah. Pengelolaan baik dan benar sesuai kaidah-kaidah yang berlaku, mutlak diwujudkan oleh semua pihak,” tegas Gellwynn.
PNBP Bukan Tujuan
Ia mengingatkan, bahwa tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bukan tujuan, namun merupakan instrumen pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI). Sehingga penerapan kebijakan dapat dioptimalkan mencapai target yang ditetapkan.
Ia mengusulkan 4 langkah yang dapat diterapkan sebagai strategi kebijakan. Pertama, diperlukan kajian/riset Pengelolaan WPP. Kedua, kapal wajib melaporkan data hasil tangkapan per hari, per lokasi. Ketiga, membangun Branding Udang Arafura. Dan keempat, membangun kemitraan Pemerintah-Industri Perikanan Udang.
“Nelayan juga perlu mendapatkan kesejahteraan dari kegiatan mereka, sehingga kebijakan bisa lebih implementatif di lapangan. Selesai menangkap udang, kita minta nelayan untuk melaporkan tangkapan mereka. Dengan demikian, pembangunan data base dapat diwujudkan secara optimal,” papar Gellwyn
Senada dengan itu, Peneliti IPB Bogor, Prof. Akhmad Fauzi mengatakan, resource rent tax merupakan komponen penting dalam pengelolaan perikanan karena bisa menjadi driving force terjadinya overexploitasi (OA). Namun di sisi lain bisa menjadi instrumen pengendalian keberlanjutan (MEY). Apalagi, penentuan resource rent tax atau RRT (PNBP) dalam perikanan sangat kompleks.